
Table of Contents
Pendahuluan
Tahun 2025 menjadi titik kritis dalam dunia pendidikan Indonesia. Di tengah usaha pemulihan pasca pandemi, sistem pendidikan kita kembali dihadapkan pada permasalahan lama yang terus terulang: labilnya kurikulum nasional. Salah satu bidang yang paling terdampak adalah pembelajaran Bahasa Inggris. Bahasa yang semestinya menjadi alat penting untuk menghadapi tantangan global justru menjadi korban dari ketidakpastian arah kebijakan pendidikan.
Labilnya kurikulum di tahun ini membuat guru, siswa, dan institusi pendidikan kebingungan. Tidak hanya soal isi materi yang berubah-ubah, namun juga pendekatan pengajaran, sistem evaluasi, hingga penggunaan teknologi dalam kelas. Artikel ini akan membahas secara menyeluruh permasalahan tersebut, termasuk dampaknya terhadap guru, siswa, dan kualitas pembelajaran secara umum, serta menawarkan beberapa solusi strategis untuk mengatasi situasi yang semakin kompleks ini.
1. Latar Belakang Permasalahan Kurikulum Bahasa Inggris
Kurikulum di Indonesia memang sudah lama dikenal “gonta-ganti.” Dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka di 2022 yang masih eksperimental. Pada 2025, ternyata belum ada kepastian apakah Kurikulum Merdeka akan benar-benar dijadikan standar nasional atau tidak. Hal ini berdampak langsung terhadap perencanaan pembelajaran Bahasa Inggris, terutama karena bahasa ini sangat bergantung pada keterampilan berkelanjutan—listening, speaking, reading, writing—yang memerlukan progres berjenjang dan konsisten.
Permasalahan muncul ketika kurikulum terus berubah. Guru harus menyesuaikan ulang perangkat pembelajaran, sementara siswa mengalami kebingungan karena materi dan penilaian tidak konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini menimbulkan ketimpangan pembelajaran dan kualitas output yang tidak merata. Sementara itu, sekolah juga kesulitan dalam merancang program jangka panjang karena harus menyesuaikan dengan kebijakan yang belum tentu stabil.
Selain itu, kurikulum yang berubah-ubah menciptakan beban mental bagi guru dan siswa. Guru yang sebelumnya sudah terbiasa dengan satu sistem, harus kembali belajar, beradaptasi, dan menyusun ulang rencana pembelajaran. Siswa pun mengalami kebingungan karena harus terus-menerus beradaptasi dengan gaya belajar dan penilaian yang berbeda. Situasi ini pada akhirnya menciptakan permasalahan dalam sistem pendidikan secara menyeluruh.
2. Permasalahan Kurikulum Bahasa Inggris di Tahun 2025
Labilnya kurikulum tahun ini terlihat dari beberapa hal:
- Tidak adanya roadmap jangka panjang: Pemerintah sering melakukan revisi kurikulum tanpa peta jalan yang jelas. Hal ini membuat sekolah dan guru seperti berjudi dengan masa depan anak didik. Kurikulum yang seharusnya menjadi panduan utama dalam kegiatan belajar mengajar, justru menjadi sumber permasalahan dan ketidakpastian.
- Perubahan kebijakan yang mendadak: Banyak guru mengeluh bahwa perubahan terjadi tanpa waktu persiapan yang cukup. Misalnya, modul ajar Bahasa Inggris tiba-tiba diganti atau ditiadakan. Hal ini menyebabkan guru terpaksa menyusun materi seadanya, tanpa landasan yang kuat.
- Ketidaksesuaian antara kebijakan pusat dan pelaksanaan di daerah: Di daerah-daerah tertentu, banyak sekolah yang belum siap secara fasilitas atau sumber daya untuk menjalankan kurikulum baru, tapi tetap dipaksa mengikuti aturan pusat. Akibatnya, kualitas pembelajaran sangat timpang antar wilayah dan menimbulkan permasalahan kesenjangan pendidikan.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya dialog antara pembuat kebijakan dan pelaku lapangan. Kurikulum sering kali disusun tanpa melibatkan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan. Akibatnya, kebijakan yang diambil tidak realistis dan sulit diterapkan.
3. Permasalahan dalam Proses Pembelajaran Bahasa Inggris
Pembelajaran Bahasa Inggris adalah proses berkelanjutan. Ketika kurikulum tidak stabil, permasalahan yang muncul menjadi sangat kompleks:
- Materi tidak sinkron antar jenjang: Siswa yang pindah sekolah bisa menemukan kurikulum yang sangat berbeda, sehingga mereka harus mengulang atau bahkan melewatkan beberapa kompetensi penting. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam penguasaan keterampilan berbahasa Inggris.
- Ketimpangan antara sekolah kota dan desa: Sekolah di kota mungkin bisa mengikuti perubahan kurikulum dengan cepat, namun sekolah di daerah kesulitan mengejar ketertinggalan. Akses terhadap sumber daya seperti buku, internet, dan pelatihan guru menjadi tantangan tersendiri dan menjadi permasalahan yang terus berulang.
- Penilaian tidak konsisten: Standar kelulusan dan sistem asesmen Bahasa Inggris berubah-ubah, membuat siswa dan guru kesulitan menyesuaikan diri. Hal ini juga menyulitkan dalam mengukur hasil belajar secara objektif dan berkelanjutan.
Pembelajaran Bahasa Inggris yang ideal seharusnya memberikan pengalaman belajar yang terstruktur dan progresif. Namun, kondisi saat ini membuat pengalaman itu menjadi terfragmentasi, tidak terpola, dan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.
4. Permasalahan Guru Bahasa Inggris dalam Kurikulum yang Labil
Guru adalah ujung tombak implementasi kurikulum. Tapi dengan kurikulum yang terus berubah:
- Guru kesulitan menyusun perangkat ajar yang tepat dan relevan. Mereka harus menyesuaikan RPP, silabus, dan modul ajar secara cepat dan berkali-kali dalam satu tahun.
- Pelatihan dari pemerintah seringkali tidak seragam, bahkan tidak sampai ke seluruh daerah. Banyak guru merasa kebingungan karena minimnya panduan dan pelatihan yang konkret. Mereka terpaksa belajar mandiri dengan referensi yang terbatas.
- Guru terbebani administrasi yang bertumpuk karena harus menyesuaikan lagi perangkat ajarnya setiap kali ada revisi kurikulum. Waktu yang seharusnya digunakan untuk pengembangan diri dan peningkatan kompetensi malah habis untuk urusan administratif.
Kondisi ini juga berdampak pada motivasi dan semangat mengajar. Guru merasa tidak dihargai karena tidak dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan, dan pada akhirnya hanya menjadi pelaksana kebijakan yang berubah-ubah. Permasalahan ini turut memicu penurunan kualitas pengajaran secara menyeluruh.
5. Permasalahan yang Dihadapi Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Siswa adalah pihak yang paling dirugikan dari ketidakstabilan kurikulum:
- Mereka tidak memiliki pijakan yang jelas mengenai apa yang harus mereka capai. Materi pembelajaran berubah, gaya penilaian berubah, bahkan pendekatan pengajaran pun bisa berbeda tiap tahun.
- Motivasi belajar menurun karena mereka merasa materi Bahasa Inggris berubah dan tidak nyambung. Mereka kesulitan memahami struktur pembelajaran yang tidak konsisten.
- Mereka kesulitan bersaing di tingkat nasional atau internasional karena tidak ada standar yang kuat untuk pembelajaran Bahasa Inggris. Akibatnya, mereka kurang siap menghadapi ujian TOEFL, IELTS, maupun seleksi beasiswa luar negeri.
Kondisi ini juga mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri siswa. Ketidakjelasan arah pembelajaran membuat siswa ragu terhadap kemampuannya sendiri dan berdampak pada hasil belajar mereka secara umum. Permasalahan ini harus segera diatasi agar tidak menimbulkan dampak jangka panjang.
6. Studi Kasus: Permasalahan di Lapangan
Contoh nyata bisa dilihat di beberapa sekolah negeri dan swasta di Yogyakarta. Banyak guru yang mengaku harus menulis ulang modul ajar tiap semester karena adanya update dari dinas. Sementara itu, pihak sekolah kesulitan mencari referensi atau panduan yang konsisten.
Di sisi lain, siswa di sekolah swasta unggulan bisa tetap belajar dengan lancar karena punya sumber daya lebih, sedangkan siswa di sekolah pinggiran hanya mengandalkan LKS seadanya. Ketimpangan ini memperparah jurang antara sekolah elite dan sekolah biasa, memperparah permasalahan akses dan kualitas pendidikan.
Guru di daerah 3T bahkan lebih kesulitan. Kurikulum Merdeka menuntut penggunaan media digital dan proyek berbasis aktivitas. Sayangnya, tidak semua guru di daerah memiliki akses internet yang stabil atau kemampuan membuat materi berbasis teknologi. Bahkan untuk mencetak bahan ajar pun mereka kesulitan. Permasalahan ini bersifat struktural dan harus ditangani secara sistemik.
7. Peran Teknologi dan Kursus Bahasa dalam Mengatasi Permasalahan
Dalam kekacauan ini, lembaga kursus seperti Easy English Course (EEC) di Yogyakarta justru mendapat kepercayaan lebih dari orang tua. Mereka merasa lembaga non-formal lebih konsisten, punya standar sendiri, dan mampu menyesuaikan pengajaran dengan kebutuhan siswa secara personal.
Platform digital seperti Duolingo, Grammarly, dan YouTube juga menjadi alternatif pembelajaran. Siswa bisa belajar mandiri dengan ritme mereka sendiri. Namun, ketergantungan pada teknologi ini tidak bisa berlaku untuk semua siswa, terutama yang tidak memiliki akses gawai atau internet.
Munculnya berbagai aplikasi pembelajaran dan kursus daring juga menandakan lemahnya kepercayaan masyarakat pada sistem pendidikan formal. Ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah dalam memperbaiki citra kurikulum nasional.
8. Tinjauan Akademik atas Permasalahan Kurikulum Bahasa Inggris
Riset terbaru dari beberapa universitas menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia lebih dipengaruhi oleh konsistensi metode dan kualitas guru, bukan sekadar isi kurikulum. Hal ini menegaskan bahwa guru adalah faktor kunci keberhasilan pembelajaran.
Di negara-negara seperti Vietnam dan Filipina, pembelajaran Bahasa Inggris lebih sukses karena standar nasional yang konsisten dan pelatihan guru yang berkesinambungan. Negara-negara tersebut juga menetapkan sistem asesmen Bahasa Inggris yang stabil dan berorientasi global.
Data juga menunjukkan bahwa negara yang memiliki kurikulum yang stabil cenderung menghasilkan siswa dengan kemampuan literasi bahasa asing yang lebih tinggi. Ini menunjukkan pentingnya kesinambungan dalam pembelajaran berbahasa dan pentingnya menyelesaikan permasalahan kurikulum di Indonesia.
9. Solusi untuk Mengatasi Permasalahan Kurikulum Bahasa Inggris
- Pemerintah perlu menetapkan satu kurikulum nasional Bahasa Inggris yang tidak mudah berubah. Kurikulum ini harus dirancang berdasarkan kebutuhan jangka panjang dan disusun bersama praktisi pendidikan.
- Guru harus diberi pelatihan berkelanjutan dan akses pada sumber belajar yang baik. Pelatihan ini harus menjangkau seluruh daerah dan berfokus pada penguasaan metode pengajaran yang kontekstual dan kreatif.
- Sekolah perlu dilibatkan dalam proses evaluasi kurikulum agar kebijakan yang keluar lebih membumi. Keterlibatan guru dan kepala sekolah dalam perumusan kebijakan akan meningkatkan efektivitas implementasi.
- Kolaborasi antara sekolah dan lembaga non-formal harus difasilitasi untuk menjembatani kekurangan di sistem formal. Pemerintah bisa membuat skema integrasi agar siswa bisa belajar di dua tempat secara seimbang.
- Teknologi harus dimanfaatkan secara bijak. Pemerintah bisa membuat platform digital khusus untuk pembelajaran Bahasa Inggris yang terstandar nasional dan mudah diakses.
10. Penutup: Menutup Permasalahan dengan Kolaborasi
Kurikulum yang stabil bukan berarti kaku, namun harus konsisten dan terarah. Di tahun 2025, labilnya kurikulum terbukti membuat pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia mengalami penurunan kualitas. Jika tidak segera ditangani, generasi muda Indonesia akan kesulitan bersaing di kancah global.
Kini saatnya pemerintah, guru, sekolah, dan masyarakat bahu-membahu menciptakan sistem pendidikan Bahasa Inggris yang lebih kuat, stabil, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Pembelajaran yang konsisten, terarah, dan kontekstual adalah kunci utama membekali siswa dengan keterampilan berbahasa Inggris yang mumpuni untuk menghadapi masa depan.